Gimik Indonesia Menuju Transisi Energi

Sektor energi merupakan kontributor perubahan iklim paling besar menyumbang hampir 90% dari emisi CO2 secara global. Pada negosiasi Iklim Internasional Paris Agreement (COP 21) tahun 2015, untuk menahan peningkatan suhu bumi maka mewajibkan setiap negara anggota untuk mengambil peran dalam komitmen perubahan iklim, yang diwujudkan dengan penetapan Nationally Determined Contribution (NDC) masing-masing.

Transisi energi dari berbasis fosil ke pemanfaatan sumber energi yang lebih bersih harus diupayakan oleh Indonesia, demi mencapai target emisi nol bersih pada tahun 2060. Istilah transisi energi mengacu pada tren pergeseran penggunaan sumber energi fosil yang tidak terbarukan seperti minyak bumi, gas alam, dan batu bara menuju ke sumber energi terbarukan seperti energi dari Panas Bumi, cahaya matahari, angin dan air.

Menuju sumber energi yang bersih dan berkelanjutan, Indonesia memiliki target Energi Baru dan Terbarukan (EBT) sebesar 23% pada bauran energi nasional pada tahun 2025, Transisi energi juga mencakup upaya untuk meningkatkan efisiensi energi dan mengurangi emisi gas rumah kaca yang dihasilkan dari pembakaran bahan bakar fosil, Kebijakan dan komitmen Indonesia untuk mengurangi emisi gas rumah kaca hingga 29% pada tahun 2030.

Faktanya saat ini pembangkit listrik berbahan bakar batu bara masih mendominasi suplai energi listrik di Indonesia dan skema-skema yang diberikan oleh pemerintah lebih terkesan seperti skema bisnis yang sebenarnya tidak berpihak pada penurunan pencemaran lingkungan. 

Co-firing merupakan pencampuran bahan bakar batu bara dengan biomassa. Biomassa dalam hal ini dimanfaatkan sebagai bahan pengganti sebagian batu bara untuk di bakar dengan rasio tertentu.  Ada empat jenis biomassa yang dipakai PLN dalam co-firing ini: hutan energi, limbah pertanian atau perkebunan, limbah industri, dan sampah rumah tangga. seperti wood pellet, cangkang sawit, dan sawdust (serbuk gergaji). Biomassa pelet kayu memiliki potensi besar deforestasi ketika digunakan untuk memenuhi co-firing PLTU dan tetap menghasilkan emisi gas rumah dan menimbulkan konflik-konflik baru seperti konflik lahan, agraria, perusakan lingkungan, sosial masyarakat, dan sebagainya.

Dalam Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET), produk-produk turunan batu bara seperti gas metana batu bara (coal bed methane), batu bara tercairkan (liquified coal), dan batu bara tergaskan (gasified coal) dianggap sebagai ‘energi baru’ namun tetap menghasilkan emisi gas rumah kaca. Selain itu ada Nuklir juga yang akan dikembangkan sebagai energi baru Indonesia, dengan pembiayaan berlipat lebih mahal  jika dibandingkan dengan sumber energi terbarukan seperti angin dan matahari.

RUU EBET mengatur juga hidrogen sebagai bagian dari “energi baru”, tapi tidak menjelaskan secara detail sumber-sumber hidrogen yang akan menjadi fokus pengembangan. hidrogen dapat berasal dari sumber energi fosil (grey hydrogen) maupun sumber energi terbarukan (green hydrogen). Riset yang ada saat ini menunjukkan, baru satu persen green hydrogen yang dikembangkan di seluruh dunia selebihnya masih dari energi fosil.

Pemerintah dan DPR seharusnya fokus pada Kebijakan untuk pengembangan energi terbarukan yang bersih dan berkelanjutan untuk mendukung penurunan emisi gas rumah kaca demi mencapai target emisi nol bersih pada tahun 2060.

Bagikan

LAMBANG

Lambang KPA EMC² adalah segitiga berada di tengah-tengah setengah lingkaran yang ada di atas dasar warna putih dengan sudut lancip di bawah dengan arti lambang menunjukkan kedudukan di FMIPA UNRI serta menunjukkan KPA EMC² berorientasi pada lingkungan dan kelestarian alam yang berbasiskan penelitian di dasari sebagai perwujudan dan bakti kepada Tuhan Yang Maha Esa.