KPA EMC²

Kawasan Leuser dalam Pandangan Temu Wicara dan Kenal Medan XXXIII Aceh MAPALA se-Indonesia


Indonesia itu beragam, ada yang indah, ada yang menawan, ada yang mengagumkan. Dibalik itu semua, ada pengorbanan yang harus di tumbalkan.
TWKM 33 Aceh, ajang silaturahmi mapala se Indonesia. Provinsi penghasil tanaman menenangkan katanya. Aku yang seorang mapala, berkelana kesana dengan membawa nama singgasana pendidikan Riau untuk menampung segala “guru” dalam pandangan mataku.


H-1 pembukaan,
aku sampai. Sepi, seperti tidak ada hal yang istimewa. Aku terhanyut dalam duniaku sendiri, tanpa adanya gangguan dari sekelompok orang disekelilingku.

Hari pertama,
pembukaan, ramai segelintir orang berdatangan, menaiki bus yang disediakan. Pembukaan berjalan layaknya air mengalir. Penampilan pengisi acara begitu memukau mata. Ada lantunan ayat suci yang merdu, ada tarian yang memukau, ada pula suara yang menggugah telinga untuk selalu terbuka menikmati setiap dentingan nada. Warna warni bak pelangi, menggantung di leher setiap orang, slayer, itulah penanda darimana dia berasal. Pembukaan usai, air turun, kami bermenung, menunggu jemputan untuk berpindah ke lokasi selanjutnya. Aku yang memang mengikuti KM Gunung Hutan, harus berangkat setelah pembukaan usai. Bus datang, peserta bergegas menuju kampus, dan lanjut ke lokasi GH. Danau Lut Tawar. Gunung Bur Ni Klieten. Lokasi penting selanjutnya.

Renjana tertutup gelapnya sang awan. Kami harus menegakkan tenda sebelum malam datang menghampiri. Sore yang damai, membuatku merasa dunia itu milikku seorang. Malamku dihiasi dengan ramah tamah perkenalan peserta yang berbeda sifat, berbeda tabiat, berbeda semuanya. Malam beranjak, tanpa henti, aku terus mengingat, esok adalah pemberian materi.

Hari kedua,
Pagi datang, mataku yang sayu, membuat badanku tak sanggup merangkak, sedangkan lambungku meronta ingin menerima pasokan makanan. Aku duduk, bersama yang lain, mendengar Dinas Pariwisata berceloteh didepan, mengagungkan Kopi Gayo yang katanya sudah mendunia. Teringat bagaimana beliau menceritakan bagaimana hebatnya kopi gayo. Ikan Depik, endemik Danau Lut Tawar. Burung Cimpala, endemik Kawasan Leuser.

” Kalau memang kawasan Leuser aman dan damai, mengapa perlu dilakukan pelestarian, mengapa hewan merusak kebun warga, tidak logika kalau habitat fauna tersebut hanya rusak dikarenakan banjir.”, kataku. Beliau tampak seperti panik, tak tahu harus berkata apa. Kami akhirnya melontarkan bahasan yang sama. Ah sudahla, beliau kan dari dinas Pariwisata, kok malah bahas Pelestarian lingkungan.

Waktu berjalan cepat, matahari tepat diatas kepalaku, materi selanjutnya dimulai. HAKA , salah satu LSM di Aceh bergerak di bidang lingkungan. Pertanyaanku cukup terjawab dengan kehadiran pemateri ini, walau mata tetap sayu, sesekali berkedip dalam hitungan detik.

Berulang kali, aku hampir jatuh, tertidur diatas pangkuan bumi. Sore kembali datang, pembersihan kawasan camp cukup bermanfaat, hati senang, pohon tertawa. Malam larut menandakan esok adalah hari yang berat, aku pun tersimpuh diatas dinginnya matras, didalam heningnya tenda, aku terlelap.

Hari ketiga,
Pagi menghampiri, tenda di mulai menghilang, pertanda tracking akan dimulai. Aku bergegas mengemas barang, carrier disandang, kami berjalan menuju kampung terdekat, berdoa, berfoto, dan akhirnya memulai perjalanan panjang dengan tujuan puncak Bur Ni Klieten.

Waktu seolah melambat, tak tau mengapa, kakiku pegal, bahu apalagi, perut menahan lapar, kerongkongan kering seperti kemarau. Hal itu tak menggangguku, diluar sana memancar cerahnya mentari, Danau Lut Tawar dari atas sini seperti kolam yang dikelilingi gundukan pasir dengan hamparan hijau diatasnya. Ah begitu indahnya, tapi kaki harus terus berjalan.

Sesekali berhenti, sesekali berlari, sesekali bercanda, sesekali menceletuk, lucunya pendakian kali ini. Kadang naik, kadang turun, kadang naik kali, kadang turun kali. “Tak separah Pendakian Gunung Djadi kok” celetukku. Seketika teringat pendakian sebelumnya, aku harus melompati sungai, menyusuri jurang, berlari demi sebuah puncak.

Tak terasa suasana gelap, berisik, air hujan berjatuhan, pertanda flysheet harus dipasang. Kami meringkuk, berdempetan dalam flysheet ukuran 3×4. Belum selesai kopi diseruput. Hujan turun lebat. Ponco terpasang, carrier safety, kaki bersiap melewati beceknya jalur, shelter 3 ada di depan mata. Kawan-kawan yang terdahulu sampai, menyambutku dengan menu yang hangat, dan kopi yang nikmat. Diatas hammock, dingin menusuk kulit, sunyi menggerayangi, badan terselubung, aku terbang bersama kunang-kunang menuju alam mimpi.

Hari keempat,
Mataku terbuka, terdengan suara, “bang makan bang”, dingin menyelimuti, pertanda pagi sudah datang, tepat jam 09.00 aku sarapan, dasar karet.

10.00, aku bergerak, menaiki tebing, menyusuri rapatnya hutan, seakan menghimpitku sampai aku takbisa bergerak. Waktu begitu lambat, perut terasa sakit, tak memukul mundur semangatku muncak. Langit tak begitu panas, baju yang kukenakan perlahan kering, aku sampai di puncak batu. Sesekali memandang kota, sesekali memandang puncak pilar, sesekali berswafoto, sesekali merenungi nasib, begitu kata orang.

Setengah jam berlalu, aku masih di puncak batu, kawan-kawan yang lain beranjak pergi, tinggal aku dan ketiga temanku yang sama-sama dari Riau. Sejenak kupandangi Puncak Pilar, tertutup, menanjak, ah itu bukan tujuan utama kok. Rasa malas menggerayangi, kuputuskan inilah puncak yang aku capai, sembari memanaskan air, menyeruput energen yang ada, aku terdiam menikmati alam dari tingginya puncak batu.

Hujan mengusir kami, ragu harus turun atau menunggu kawan-kawan dari puncak pilar. Ah, daripada basah mending sedikit demi sedikit turun. Ditengah perjalanan, satu per satu kawan-kawan melintas, seperti seorang atlit, mereka berlari menghindari kaki akar, agar tetap selamat. Sesekali terdengar “izin melintas”. Ramahnya seorang pendaki……

Air menyerang, mengharuskan aku untuk berteduh. Tak lama, jerigen kuisi dengan genangan air yang menggenang diatas flaysheet seperti ibu hamil.

Malam tiba, kami menyantap makanan yang tersedia, menyeruput kopi yang ada, sembari menyesali, mengapa air yang ada tersisa sedikit, disini muncul fikiran, kan kawan kita ada. Gelap menghiasi langit, ditemani pijaran api yang juga menghangatkan, kami mengelilingi api, sembari bercanda ria, mengumpat jalur, mengumpulkan gagasan. Pendakian Ini Menakjubkan. Malam berjalan begitu saja, aku aku terlelap di hammock kesayanganku lagi, menikmati dingin, mencairkan suasana, gelap menyambar, aku pun menghilang dalam suasana nyaman.

Hari kelima,
Telinga mendengar, “bang packing bang”, ah suara yang sama. Mataku memandang sekeliling, tenda perlahan menghilang, tepat jam 08.30 aku terbangun. Tanpa menghiraukan perut, aku packing, foto bersama dengan deklarasi #SaveEkosistemLeuser. Tidak lupa “Operasi Semut”. Kami turun, beriringan, sesuka hati, ada yang duluan, ada yang ditengah ada yang belakangan. Aku tim ditengah. Awalnya saja….

Lelah menerjang, matahari diatas kepala, kami berhenti, memasak sisa logistik, menyantap bersama, tak lupa ditemani seruput kopi yang memang adalah hal yang wajib dilakukan. Tak semua merasakannya, sebab beberapa sudah dahulu menuruni gunung dengan alasan mau boker. Tak masalah, toh setiap orang ada kepentingannya masing-masing.
Belum selesai mencerna, aku turun, bersama neberapa kawan yang memiliki tujuan sama.

Sesekali berhenti, sesekali berlari, begitu terus. Kali ini aku tim belakangan, aku menyebut diriku PESAN “Pejalan Santai”. Danau Lut Tawar kembali datang, seperti menanti kedatanganku kembali.
Kampung terlihat, langit menggelap, air mengejar dari balik gunung, kami berlari menuju rumah warga, meletak carrier, memantik api, menghisap rokok. Hujan turun dengan lebatnya.
Kami semua menunggu bus, dengan tujuan sisi sananya Danau. Bus datang, kami menyerang, mencari posisi nyaman untuk duduk. Untung aku dapat tempat.

Kelap kelip lampu terlihat dari kejauhan, itukah lokasi kami? Ternyata bukan, lokasi berada 20 menit perjalanan lagi, ah lama kali.

Bus stop, aku turun, memilih lokasi tenda, ternyata sudah ada, kawanku mendirikannya. Alhamdulillah. Anak Gunung Hutan dan Arung Jeram yang ada di lokasi, anak TW masih sibuk berdiskusi di atas meja sidang, entah apalah yang di bahasnya. Malamku penuh kehangatan, kami bercanda ria, tak ingat waktu. Aku terlelap dibawah hangatnya sleepingbag, yang sebenarnya tetap dingin. Mataku menggelap, aku tertidur.

Hari keenam,
Hari penutupan, pagi menuju siang, tak ada yang spesial, selain memandangi Danau Lut Tawar yang di kelilingi Pegunungan berhamparan hijau. Senja, menampilkan pemandangan kota di ujung danau, seperti Los Angeles di negara tetangga. Kamu bisa menikmatinya di foto-foto yang akan aku sertakan.

Malam datang, hujan berhenti, lokasi tampak becek, licin, mengurangi euforia penutupan yang seharusnya ada. Kami berbaris layaknya tentara. Rokok dimatikan, upacara dimulai, silih berganti pengisi acara menyampaikan. Kode Etik Pecinta Alam, Sumpah Pemuda, Laporan Ketua Pelaksana, Kata Sambutan Bupati Aceh Tengah atau yang mewakili.

Selamat Kepada Tuan rumah TWKM XXXIII yang telah berhasil menjalankan tugasnya kali ini. Selamat juga kepada Matapala, kota Palu, Tuan rumah TWKM XXXIV 2024, dan PKD serta PKN terpilih. Riau mengambil PKN, bg Valdi, dari Himapeka Waradipa, UNILAK. Kamu bisa cek websitenya di sini.

Musik mengalun, menimbang norma adat yang ada disekitar, jangan terlalu keras, dan jangan terlalu larut, tepat jam 23.30, musik dihentikan, tapi kami tetap beraktifitas semau kami. Aku tak mau meninggalkan euforia malam ini, aku berbincang, bercengkrama walau akhirnya harus merebah untuk mengisi energi di esok hari.

Hari ketujuh,
Pagi datang, tenda di yang terpasang, harus di kemas. Kami berfoto, mencetak kenangan didalam sebuah memori. Plakat, baju dan topi sebagai marchendise kami terima. Kami pulang menuju kampus untuk menjemput barang yang tertinggal. Malam datang, tak mau ketinggalan bus, aku berfoto sejenak, mengabadikan detik terakhir di Aceh, bus berjalan dengan aku tertidur didalamnya.
Selamat Tinggal Aceh, Berejen….

Delegasi :
1. Muhammad Farhan 168/KPA EMC2/2022
2. Ali Musthafa Kamal 174/KPA EMC2/2022

DOKUMENTASI

Bagikan

LAMBANG

Lambang KPA EMC² adalah segitiga berada di tengah-tengah setengah lingkaran yang ada di atas dasar warna putih dengan sudut lancip di bawah dengan arti lambang menunjukkan kedudukan di FMIPA UNRI serta menunjukkan KPA EMC² berorientasi pada lingkungan dan kelestarian alam yang berbasiskan penelitian di dasari sebagai perwujudan dan bakti kepada Tuhan Yang Maha Esa.